Zakir Naik. Saya tidak mengenal mendalam lelaki berjenggot putih ini, saya hanya mengenalnya lewat video Youtube yang memertontonkan bagaimana ia memermalukan pemeluk agama lain di hadapan publik. Sayangnya justru dari hal itu ia menjadi terkenal. Ketenarannya menembus ruang batas umur, golongan, dan lintas negara.
Melambungnya nama Zakir Naik tidak lepas juga dari publikasi jor-joran yang dilakukan Peace TV, sebuah stasiun televisi di Dubai, Uni Emirat Arab sejak 21 Januari 2006. Stasiun ini rutin menyiarkan program-program ceramah Zakir Naik ke berbagai penjuru dunia. Layanan Peace TV tidak hanya membuka kanal berbahasa Inggris, tetapi Urdu, Bengali, dan Albania. Terakhir, pada 2015, Peace TV juga meluncurkan kanal berbahasa Mandarin.
Suatu ketika dalam salah satu ceramahnya yang diberitakan stasiun NDTV India, Zakir Naik mengatakan bahwa jika umat Muslim mau, mereka dapat membuat 80 persen warga India tak lagi memeluk agama Hindu dan pindah ke Islam. Naik bahkan menyebut semua Muslim harus menjadi teroris. Sontak pidato Zakir Naik ini menuai kecaman dari publik India. Naik terusir dan menjadi buron di negaranya sendiri.
Di Skotlandia, Zakir Naik juga dihujat. Pasalnya, ia diduga menginsipirasi seorang pemuda untuk melakukan serangan bom di bandar udara Glasgow pada 2007 lalu. Terakhir kali, nama Zakir Naik kembali mencuat setelah pelaku bom Tahun Baru di Dhaka, Bangladesh, mengunggah pesan yang mengutip perkataannya. Di negara tetangga kita, Malaysia, nama Zakir Naik juga dikecam. Beberapa aktivis di sana menuntut Zakir naik secara hukum agar di masukan ke dalam daftar orang-orang yang mengancam keamanan nasional, pada 12 April lalu persidangan terkait hal ini di gelar.
Hal kontras terjadi di sini. Sepekan lebih Zakir Naik menghiasi laman berita media di Indonesia. Ia berkeliling sejumlah kota untuk berkotbah. Ia berbicara banyak hal, tentang tafsir Al maidah 51, tentang hubungan agama dan politik, tentang sejumlah isu kontroversial di publik Indonesia. Ia berselancar di tengah isu kontroversi.
Romo Valent dan Zakir Naik
Ingatan saya melayang 14 tahun lalu. Waktu itu saya masih kuliah semester 4 di kampus Islam di Ponorogo. Saat itu saya bersahabat dengan seorang romo Katolik dari Pastoran Ponorogo, saya biasa memanggilnya Romo Valent.
Persahabatan kami sedikit kikuk awalnya. Bermula saat menjelang Paskah, seorang kawan sesama pegiat teater meminta saya untuk membantu beberapa jamaah gereja berlatih drama Paskah. Sedikit kikuk saya menyanggupinya. Gereja Pastoran di Ponorogo bukanlah gereja yang besar, jamaatnya tidak lebih dari 500 orang dalam satu peribadatan. Namun balai pengobatan yang dikelola pihak gereja selalu ramai pengunjung.
Romo Valent, seorang muda bertubuh kurus dan tinggi. Tutur katanya lembut, ia tahu saya seorang mahasiswa muslim. “Anda tidak keberatan saya minta melatih drama paskah? Anda muslim, saya tidak memaksa Anda keberatan,” kata dia kala itu kepada saya. Saya menyanggupi. Menurut saya, tidak ada salahnya melatih orang bermain drama. Romo Valent senang. Karena ia tahu bahwa sebagai seorang muslim saya mesti melakukan salat lima waktu, ia membelikan saya sajadah dan menyediakan satu ruangan di samping pastoran agar bisa menjalankan shalat.
Sejak itu kami bersahabat, kami saling bertukar buku. Saya ingat dia pernah memberi saya satu bendel fotocopy tentang buku Sukarno Di bawah Bendera Revolusi. Sebagai imbalannya, saya pinjamkan kitab Jurumiyah, sebuah kitab tentang gramatical bahasa Arab, kepadanya. Kami juga pernah nonton bareng film Da vinci Code, hingga menggelar bakti sosial untuk beberapa desa bersama. Semuanya kami lakukan tanpa label agama apalagi memperdebatkan perbedaan kepercayaan. Kami memiliki kepercayaan berbeda, agama kami berbeda, namun itu bukan halangan bagi kami untuk bersahabat. Persahabatan kami bangun dengan dialog dan kemanusiaan.
Rasa sebaliknya saya temukan kala menyaksikan Zakir Naik. Menyaksikan Zakir Naik saya seperti melihat agama yang didangkalkan. Agama bukan lagi soal kesalehan, tetapi tentang penaklukan terhadap perbedaan.
Bagi orang yang menghayati agama sebagai sebuah ‘lelaku’ dan sumber pencerahan batin, akan sulit menemukannya di ceramah Zakir Naik. Bagaimana pencerahan batin akan diperoleh jika kita terlalu asyik memuaskan diri dengan mengalahkan dan memermalukan yang berbeda.
Bagi para pelaku sufi, pemburu cahaya hati, agama adalah tangga rohani. Bagi mereka Tuhan adalah tujuan akhir, tidak lagi penting wujud dan rupa karena kemanusiaan dan belas kasih adalah wujud dari hasil olah bathin. Lantas cahaya hati seperti apa yang bakal ditemukan bila agama dimaknai sebagai sebuah palagan untuk menyalahkan perbedaan, memenuhi ego paling benar.
Pola beragama sempit seperti itu bisa merusak pondasi harmoni kebhinekaan negara kita. Dialog lintas iman akan sulit tercapai jika tujuan akhir sebuah dialog adalah menjatuhkan yang berbeda. Friksi dan gesekan perbedaan akan terus menajam, hingga puncaknya friksi itu akan berubah menjadi perang dalam arti sesungguhnya. Dan hari ini saya melihat syahwat itu hadir bersama Zakir Naik.
Seusai menonton ceramah Zakir naik saya mencoba menghubungi Romo Valent, sekadar menanyakan pandangan sahabat saya itu mengenai Zakir Naik. Ia membalas dengan sebuah kutipan kalimat Sayidina Ali dalam Najhul Balaghah :Dia yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan. Saya tertegun takjub.
Ah, selamat menjalani Minggu suci Romo, semoga engkau mengingat pertunjukan drama kita dulu. Tentang mereka yang tidak bisa pergi ke gereja, karena sangat miskin dan pakaiannya penuh robek. Namun Tuhan hadir dalam sunyi, Tuhan berada di sebuah tempat yang sunyi. Ilahi anta maqsudi wa ridhoka mathlubi……
Foto: Pixabay